Makna Harmonisasi dibalik Bambu dan Karinding Sasora


Cimahi - Karinding, sebuah alat musik tradisional yang berasal dari Jawa Barat, memiliki sejarah dan fungsi yang beragam di berbagai daerah. Meskipun asal usulnya tidak diketahui secara pasti, Karinding telah menjadi bagian penting dalam budaya masyarakat Sunda. 

Setiap daerah di Jawa Barat memiliki peran yang berbeda-beda untuk alat musik ini. Di Banten, Karinding digunakan sebagai alat musik mainan bagi anak-anak. Sementara itu, di Cirebon, alat musik ini dimanfaatkan untuk mengusir hama di sawah, menggambarkan keberagaman dan fungsi sosialnya.

Namun, Karinding bukan hanya sekadar alat musik. Di balik bunyi yang dihasilkannya, terdapat filosofi yang mendalam yang diyakini oleh masyarakat/Rahayat Awi. Tiga nilai utama yang terkandung dalam filosofi Karinding adalah *yakin, sadar, dan sabar*. 

Pemain Karinding dipercaya harus memiliki keyakinan bahwa mereka dapat menghasilkan bunyi yang tepat, sadar bahwa suara yang dihasilkan adalah manifestasi dari Maha Kuasa dan sabar dalam proses memainkannya.

Salah satu yang masih eksis dalam melestarikan karinding ialah Karinding Sasora, yang mana grup ini dibentuk dari sekelompok pemuda yang berasal dari SMK TI Garuda Nusantara yang digagas Oleh Rian Suherman dan Gani Abdul Rahman pada Tahun 2010.

Karinding Sasora sendiri namanya diciptakan sebagai simbol keselarasan baik dalam nada maupun kehidupan bersama, baik kepada manusia maupun alam dan Yang maha Esa.

Karinding Sasora pada saat itu dibentuk sebagai ekstrakuliker yang dibina oleh Bapak Dea Fauzia Abdillah, Karinding Sasora juga Sebagai bagian dari Komunitas Awi Sampurasun yang diketuai oleh Yudi Hermawan ( Dede Dozer).

Seiring jaman karinding mengalami transisi dimana musik yang biasanya hanya musik karinding mencoba berkolaborasi dengan musik modern, diantaranya dengan Dawai and The Ethnicity grup band jazz Asal kota Bandung yang berhasil merambah musik dan berbagai event diindonesia.


Filosofi Karinding ini mencerminkan komposisi yang ada dalam sebuah gunung, dengan tiga elemen yang saling melengkapi, yang dijabarkan dalam bahasa Sunda sebagai berikut:

1. *Leuweung Larangan* (hutan sebagai sumber): tempat spiritualisme yang harus dijaga dengan penuh keyakinan.
2. *Leuweung Tutupan* (hutan sebagai sumber ilmu): tempat pencarian ilmu yang harus dilakukan dengan kesadaran.
3. *Leuweung Baladahan* (hutan sebagai tempat berkebun dan bertani): tempat usaha yang membutuhkan kesabaran.


Melalui filosofi ini, Karinding tidak hanya dianggap sebagai alat musik, tetapi juga sebagai simbol dari norma ketuhanan, kemasyarakatan, kemanusiaan, dan hukum waktu. Oleh karena itu, Karinding memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Sunda dan Indonesia pada umumnya.

Sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia, kita semua harus bangga dan turut melestarikan seni dan kearifan lokal yang ada, termasuk Karinding, sebagai warisan budaya yang patut dijaga. ***Gan.


Tidak ada komentar

'; (function() { var dsq = document.createElement('script'); dsq.type = 'text/javascript'; dsq.async = true; dsq.src = '//' + disqus_shortname + '.disqus.com/embed.js'; (document.getElementsByTagName('head')[0] || document.getElementsByTagName('body')[0]).appendChild(dsq); })();
Diberdayakan oleh Blogger.